Belajar dari Teladan Rasulullah

by - September 02, 2020


Diri kita ini terlalu fokus merenungi nasib sendiri sampai melupakan keberadan kondisi orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita saat ini. Bahkan sampai terlupakan dengan keperihan yang dialami para pendahulu kita dalam memerjuangkan tegaknya agama Allah. Sadarkah, bahwa perih yang mungkin kita rasakan tidak sebanding dengan keperihan yang dialami Rasulullah ketika mengemban tugas dakwah. Beruntungnya kita sebagai umat Rasulullah karena telah banyak kisah teladan dari Rasulullah yang sudah seharusnya kita mencari tahu dan dapat mengambil ibrahnya. Maka disinilah waktu yang tepat utuk berjeda merenungi kisah teladan Rasulullah yang sebenarnya dari kehidupan beliau begitu banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk bekal diri, termasuk pelajaran untuk tetap setia bertemankan pada kesabaran di masa menunggu kita ini.


لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al Ahzab ayat 21)


Berjedalah, jika masa menunggumu ini membuatmu lelah. Berjedalah untuk mencari kekuatan untuk melanjutkan perjalananmu. Berjedalah untuk meluangkan waktu menjadi seorang pembaca atau pendengar dari kisah-kisah teladan, yang darisana kita dapat mengambil pelajaran sebagai bekal diri dalam perjalanan selanjutnya.


Rasulullah di masa kecilnya, telah menjadi seorang yatim piatu. Beliau ditinggal Abdullah, ayah beliau saat masih dalam kandungan. Ibu beliau, Aminah meninggal dunia pada saat usia beliau menginjak masa anak-anak yaitu di usia 6 tahun. Kehilangan ayah dan ibu tidak membuat Rasulullah kehilangan perhatian dan kasih sayang sebagai seorang anak. Rasulullah tetap tumbuh dalam pengasuhan keluarga layaknya anak-anak. Salah satu orang terkasih yang merawat Rasulullah di masa kecil adalah kakek beliau,  Abdul Muthalib. Begitu dalam kadar cinta seorang kakek kepada cucunya, membuat Rasulullah sering disapa oleh masyarakat sekitar dengan sebutan “Ibn Abdul Muthalib” (Putra Abdul Muthalib).

Layaknya seorang manusia pada umumnya, semasa hidup beliau, Rasulullah tentu tidak pernah luput dari ujian kehidupan. Rasulullah kembali merasakan kehilangan orang-orang terkasih dalam hidupnya. Tiba di suatu masa, saat Rasulullah telah menginjak usia dewasa, Rasulullah mendapatkan ujian duka yang bertubi-tubi. ‘Amul Hazn merupakan istilah yang menggambarkan periode duka cita Rasulullah. Beliau kehilangan seorang paman, saudara kandung ayah beliau yaitu Abu Thalib yang telah menjadi ayah sambung di kehidupan beliau. Abu Thalib bersama Fatimah bint Asad (istrinya) yang senantiasa merawat Rasulullah layaknya seorang anak kandung setelah kepergian Abdul Muthalib (kakek Rasulullah). Bertambah sedih hati Rasulullah kala itu, mendapati Abu Thalib yang tetap bersikukuh memegang agama nenek moyangnya (menyembah berhala) dan tidak mengikuti perkataan Rasulullah untuk mengucap tahlil (bersaksi tidak ada tuhan selain Allah) sampai ajalnya menjemput.

Selang bebarapa hari (disebutkan tiga hari atau dua bulan, ada perbedaan pendapat diatara ulama) setelah  meninggalnya Abu Thalib, Khadijah kala itu berusia 65 tahun telah meninggalkan Rasululullah untuk selama-lamanya. Wafatnya seorang istri Rasulullah yang juga dikenal dengan sebutan Ummul Mukminin, menambah pengalaman pahit Rasulullah ditinggal orang-orang terkasihnya. Khadijah seorang teladan muslimah, sebagai seorang istri Raulullah telah setia menemani perjalanan Rasulullah dalam mengemban tugas kerasulan yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana yang dilukiskan dalam sebuah hadist shahih tentang kemuliaan Khadijah sebagai istri Rasulullah.

“Dia (Khadijah) beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku ketika orang-orang  mendustakanku. Dia menyokongku dengan hartanya ketika orang-orang memboikotku. Dan Allah mengaruniakan anak bagiku dari (rahim)-nya. Padahal dengan (istri-istriku) yang lain, aku tak mendapatkannya.”(HR. Ahmad; hadits shahih)

Ujian tidak behenti sampai disitu saja, tahun duka cita semakin lengkap dirasakan oleh Rasulullah. Secara bersamaan, beliau juga dihadapkan oleh permasalahan pada kaumnya. Penduduk Mekkah yang kafir semakin berbuat tercela. Tidak peduli dengan kesedihan yang sedang Rasulullah rasakan saat itu, mereka menjadi semakin lancang dan berani kepada Rasulullah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka menghimpit Rasulullah agar keluar dari Mekkah. Hingga akhirnya, Rasulullah memutuskan keluar dari Mekkah menuju Thaif. Peristiwa hijrah ke Thaif terjadi pada bulan Syawal di tahun kesepuluh masa kenabian. Rasulullah berharap agar penduduk Thaif mau menerima keberadaan Islam dan menjadi tempat berlindung kaum muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Mekkah.

Alih-alih kedatangan Rasulullah disambut dengan suka cita, penduduk Thaif justru menolak kedatangan Rasulullah. Saat hijrah ke Thaif, rombongan Rasulullah langsung dihujani batu yang sengaja dilempar oleh anak-anak Bani Tsaqif. Penduduk asli Thaif tersebut menolak secara terang-terangan ajakan Rasulullah untuk memeluk Islam. Penolakan yang diterima oleh Rasulullah saat hijrah ke Thaif merupakan salah satu peristiwa yang dianggap sebagai kejadian paling menyulitkan di kehidupan beliau. Anggapan tersebut telah dinyatakan oleh Rasulullah kepada Aisyah, istri Rasulullah.

Dalam hadist Imam Al Bukhari dan Imam Muslim diriwayatkan bahwa

Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah “Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami)  satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaumku. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. “

Rasulullah yang kala itu menerima kesedihan yang datang dari kaumnya, memilih untuk menyerahkan semua urusan beliau kepada Allah. Padahal bisa saja Rasulullah meminta kepada Allah untuk menyegerakan azab kepada penduduk Thaif yang telah berani mengusir Rasulullah. Diriwayatkan dalam hadist yang sama (kelanjutan dari hadist diatas)

“..Aku (Rasulullah) pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”

Jibril dan malaikat penjaga gunung dikirim oleh Allah untuk menghibur Rasulullah di tengah perjalanan pulang beliau dari Thaif. Atas izin Allah, malaikat penjaga gunung menawarkan dirinya untuk membalas perlakuan keji penduduk Mekkah yang telah mengusir Rasulullah. Jika Rasulullah menghendaki perbuatannya, ia (malaikat penjaga gunung) akan menimpakan dua gunung sekaligus kepada penduduk Mekkah yang menjadi penyebab Rasulullah mendapatkan penolakan yang hina dari penduduk Thaif.

Dalam sebuah ceramah tentang Kisah Dakwah Rasulullah ke Thaif, Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah menyebutkan salah satu gunung tersebut adalah Jabal Abu Qubais. Jabal Abi Qubais menrupakan gunung yang berlokasi di dekat Masjidil Haram, yang letaknya searah dengan hajar aswad, dua gunung tersebut berada diantara kota Mekkah. Lalu apa jawaban dari Rasulullah dalam menanggapi malaikat penjaga gunung yang ingin menimpakan azab Allah kepada penduduk Mekkah?

Sungguh tidak terpikirkan dibenak kita untuk mengasihani seseorang yang sudah berlaku keji jika kita diposisi Rasulullah kala itu. Bayangkan, apa yang akan kita perbuat dalam kondisi sedih bercampur perasaan terhina, lalu ada seseorang yang ingin membantu kita untuk membalas perbuatan buruk dari orang yang telah menyakiti kita? Disinilah, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tetap bersabar menghadapi orang-orang yang tidak menyukai kehadiran kita. Akhlak Rasulullah yang sungguh begitu mulia. Alih-alih membalas perlakuan buruk dari kaumnya, Rasulullah lebih memilih untuk memaafkan dan mendo’akan kebaikan untuk mereka.

 “…Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim).

Rasulullah mengajarkan kepada kita juga untuk memulangkan semua perasaan sedih kita kepada Allah. Rasulullah tetap menjaga keimanan beliau dengan melakukan ibadah malam (qiyamul lail) dan membaca Al-Qur’an di tempat peristirahatan beliau sementara dalam perjalanan pulang dari Thaif. Kemudian, Allah mengutus sekelompok jin kepada Rasulullah sebagai penghibur rasa sedih Rasulullah sepulangnya beliau dari Thaif. Allah mengabarkan bahwa kepulangan Rasulullah dari Thaif tidak berbuah sia-sia, karena sekelompok jin yang mendengar Rasulullah membaca Al-Qur’an saat itu, kemudian mengimani dan masuk Islam. Peristiwa sekelompok jin tersebut telah  diterangkan oleh Allah dalam surat Al Ahqaf ayat 29-31.

وَإِذۡ صَرَفۡنَآ إِلَيۡكَ نَفَرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوٓاْ أَنصِتُواْۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوۡاْ إِلَىٰ قَوۡمِهِم مُّنذِرِينَ ٢٩ قَالُواْ يَٰقَوۡمَنَآ إِنَّا سَمِعۡنَا كِتَٰبًا أُنزِلَ مِنۢ بَعۡدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٣٠ يَٰقَوۡمَنَآ أَجِيبُواْ دَاعِيَ ٱللَّهِ وَءَامِنُواْ بِهِۦ يَغۡفِرۡ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُجِرۡكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ ٣١

Artinya : 29. Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan 30. Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus 31. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.

Pelajaran dari kisah teladan Rasulullah inilah, yang perlahan harus kita amalkan pada diri kita sendiri. Jika ujian datang menghampirimu, berjedalah untuk menerimanya dan memaafkannya. Dan tak lupa untuk memulangkan perasaan sedih kita kepada Allah.

Berjedalah, untuk memahami bahwa disaat ujian datang, selalu ada kejutan hikmah yang menyertai dibaliknya.

You May Also Like

0 $type={blogger}


Terimakasih sudah membaca, mohon beri komentar yang bijak dan sesuai dengan topik yang dibahas