Belajar dari Teladan Rasulullah
Diri kita ini terlalu fokus merenungi nasib sendiri sampai
melupakan keberadan kondisi orang lain yang mungkin tidak seberuntung kita saat
ini. Bahkan sampai terlupakan dengan keperihan yang dialami para pendahulu kita
dalam memerjuangkan tegaknya agama Allah. Sadarkah, bahwa perih yang mungkin kita
rasakan tidak sebanding dengan keperihan yang dialami Rasulullah ketika mengemban
tugas dakwah. Beruntungnya kita sebagai umat Rasulullah karena telah banyak
kisah teladan dari Rasulullah yang sudah seharusnya kita mencari tahu dan dapat
mengambil ibrahnya. Maka disinilah waktu yang tepat utuk berjeda merenungi
kisah teladan Rasulullah yang sebenarnya dari kehidupan beliau begitu banyak
pelajaran yang dapat kita ambil untuk bekal diri, termasuk pelajaran untuk
tetap setia bertemankan pada kesabaran di masa menunggu kita ini.
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ
وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Al Ahzab ayat 21)
“Berjedalah, jika masa menunggumu ini membuatmu lelah. Berjedalah untuk mencari kekuatan untuk melanjutkan perjalananmu. Berjedalah untuk meluangkan waktu menjadi seorang pembaca atau pendengar dari kisah-kisah teladan, yang darisana kita dapat mengambil pelajaran sebagai bekal diri dalam perjalanan selanjutnya.”
Rasulullah di masa kecilnya, telah menjadi seorang yatim piatu.
Beliau ditinggal Abdullah, ayah beliau saat masih dalam kandungan. Ibu beliau,
Aminah meninggal dunia pada saat usia beliau menginjak masa anak-anak yaitu di
usia 6 tahun. Kehilangan ayah dan ibu tidak membuat Rasulullah kehilangan
perhatian dan kasih sayang sebagai seorang anak. Rasulullah tetap tumbuh dalam
pengasuhan keluarga layaknya anak-anak. Salah satu orang terkasih yang merawat
Rasulullah di masa kecil adalah kakek beliau, Abdul Muthalib. Begitu dalam kadar cinta
seorang kakek kepada cucunya, membuat Rasulullah sering disapa oleh masyarakat
sekitar dengan sebutan “Ibn Abdul Muthalib” (Putra Abdul Muthalib).
Layaknya seorang manusia pada umumnya, semasa hidup beliau, Rasulullah
tentu tidak pernah luput dari ujian kehidupan. Rasulullah kembali merasakan
kehilangan orang-orang terkasih dalam hidupnya. Tiba di suatu masa, saat Rasulullah
telah menginjak usia dewasa, Rasulullah mendapatkan ujian duka yang
bertubi-tubi. ‘Amul Hazn merupakan istilah yang menggambarkan periode duka cita
Rasulullah. Beliau kehilangan seorang paman, saudara kandung ayah beliau yaitu Abu
Thalib yang telah menjadi ayah sambung di kehidupan beliau. Abu Thalib bersama
Fatimah bint Asad (istrinya) yang senantiasa merawat Rasulullah layaknya
seorang anak kandung setelah kepergian Abdul Muthalib (kakek Rasulullah).
Bertambah sedih hati Rasulullah kala itu, mendapati Abu Thalib yang tetap
bersikukuh memegang agama nenek moyangnya (menyembah berhala) dan tidak
mengikuti perkataan Rasulullah untuk mengucap tahlil (bersaksi tidak ada tuhan
selain Allah) sampai ajalnya menjemput.
Selang
bebarapa hari (disebutkan tiga hari atau dua bulan, ada perbedaan pendapat
diatara ulama) setelah meninggalnya Abu
Thalib, Khadijah kala itu berusia
65 tahun telah
meninggalkan Rasululullah untuk selama-lamanya. Wafatnya seorang istri Rasulullah yang juga dikenal dengan sebutan Ummul
Mukminin, menambah pengalaman pahit Rasulullah ditinggal orang-orang
terkasihnya. Khadijah seorang teladan muslimah, sebagai seorang istri Raulullah
telah setia menemani perjalanan Rasulullah dalam mengemban tugas kerasulan yang
diberikan oleh Allah. Sebagaimana yang dilukiskan dalam sebuah hadist shahih
tentang kemuliaan Khadijah sebagai istri Rasulullah.
“Dia (Khadijah) beriman
kepadaku ketika orang-orang mengingkariku. Dia membenarkanku ketika
orang-orang mendustakanku. Dia menyokongku dengan hartanya ketika
orang-orang memboikotku. Dan Allah mengaruniakan anak bagiku dari (rahim)-nya. Padahal
dengan (istri-istriku) yang lain, aku tak mendapatkannya.”(HR. Ahmad; hadits shahih)
Ujian
tidak behenti sampai disitu saja, tahun duka cita semakin lengkap dirasakan
oleh Rasulullah. Secara bersamaan, beliau juga dihadapkan oleh permasalahan
pada kaumnya. Penduduk Mekkah yang kafir semakin berbuat tercela. Tidak peduli
dengan kesedihan yang sedang Rasulullah rasakan saat itu, mereka menjadi
semakin lancang dan berani kepada Rasulullah. Bahkan, tidak tanggung-tanggung,
mereka menghimpit Rasulullah agar keluar dari Mekkah. Hingga akhirnya,
Rasulullah memutuskan keluar dari Mekkah menuju Thaif. Peristiwa hijrah ke
Thaif terjadi pada bulan Syawal di tahun kesepuluh masa kenabian. Rasulullah
berharap agar penduduk Thaif mau menerima keberadaan Islam dan menjadi tempat
berlindung kaum muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Mekkah.
Alih-alih
kedatangan Rasulullah disambut dengan suka cita, penduduk Thaif justru menolak
kedatangan Rasulullah. Saat hijrah ke Thaif, rombongan Rasulullah langsung
dihujani batu yang sengaja dilempar oleh anak-anak Bani Tsaqif. Penduduk asli
Thaif tersebut menolak secara terang-terangan ajakan Rasulullah untuk memeluk
Islam. Penolakan yang diterima oleh Rasulullah saat hijrah ke Thaif merupakan
salah satu peristiwa yang dianggap sebagai kejadian paling menyulitkan di
kehidupan beliau. Anggapan tersebut telah dinyatakan oleh Rasulullah kepada
Aisyah, istri Rasulullah.
Dalam
hadist Imam Al Bukhari dan Imam Muslim diriwayatkan bahwa
Aisyah
r.a bertanya kepada Rasulullah “Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah
mengalami) satu hari yang lebih berat
dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaumku. Penderitaan
paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri
kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku.
Aku pun pergi dengan wajah bersedih. “
Rasulullah
yang kala itu menerima kesedihan yang datang dari kaumnya, memilih untuk
menyerahkan semua urusan beliau kepada Allah. Padahal bisa saja Rasulullah
meminta kepada Allah untuk menyegerakan azab kepada penduduk Thaif yang telah
berani mengusir Rasulullah. Diriwayatkan dalam hadist yang sama (kelanjutan
dari hadist diatas)
“..Aku
(Rasulullah) pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali
ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di
bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada
Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka
terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung
untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’.
Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai
Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”
Jibril
dan malaikat penjaga gunung dikirim oleh Allah untuk menghibur Rasulullah di
tengah perjalanan pulang beliau dari Thaif. Atas izin Allah, malaikat penjaga
gunung menawarkan dirinya untuk membalas perlakuan keji penduduk Mekkah yang
telah mengusir Rasulullah. Jika Rasulullah menghendaki perbuatannya, ia
(malaikat penjaga gunung) akan menimpakan dua gunung sekaligus kepada penduduk
Mekkah yang menjadi penyebab Rasulullah mendapatkan penolakan yang hina dari
penduduk Thaif.
Dalam sebuah ceramah
tentang Kisah Dakwah Rasulullah ke Thaif, Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah menyebutkan
salah satu gunung tersebut adalah Jabal Abu Qubais. Jabal Abi Qubais menrupakan
gunung yang berlokasi di dekat Masjidil Haram, yang letaknya searah dengan
hajar aswad, dua gunung tersebut berada diantara kota Mekkah. Lalu apa jawaban
dari Rasulullah dalam menanggapi malaikat penjaga gunung yang ingin menimpakan
azab Allah kepada penduduk Mekkah?
Sungguh
tidak terpikirkan dibenak kita untuk mengasihani seseorang yang sudah berlaku
keji jika kita diposisi Rasulullah kala itu. Bayangkan, apa yang akan kita
perbuat dalam kondisi sedih bercampur perasaan terhina, lalu ada seseorang yang
ingin membantu kita untuk membalas perbuatan buruk dari orang yang telah
menyakiti kita? Disinilah, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tetap
bersabar menghadapi orang-orang yang tidak menyukai kehadiran kita. Akhlak
Rasulullah yang sungguh begitu mulia. Alih-alih membalas perlakuan buruk dari
kaumnya, Rasulullah lebih memilih untuk memaafkan dan mendo’akan kebaikan untuk
mereka.
“…Malaikat (penjaga) gunung memanggilku,
mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa
menimpakan Akhsabain’. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “(Tidak) namun aku berharap
supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan anak keturunan mereka orang yang
beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”
(HR. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim).
Rasulullah
mengajarkan kepada kita juga untuk memulangkan semua perasaan sedih kita kepada
Allah. Rasulullah tetap menjaga keimanan beliau dengan melakukan ibadah malam (qiyamul
lail) dan membaca Al-Qur’an di tempat peristirahatan beliau sementara dalam
perjalanan pulang dari Thaif. Kemudian, Allah mengutus sekelompok jin kepada
Rasulullah sebagai penghibur rasa sedih Rasulullah sepulangnya beliau dari
Thaif. Allah mengabarkan bahwa kepulangan Rasulullah dari Thaif tidak berbuah
sia-sia, karena sekelompok jin yang mendengar Rasulullah membaca Al-Qur’an saat
itu, kemudian mengimani dan masuk Islam. Peristiwa sekelompok jin tersebut
telah diterangkan oleh Allah dalam surat
Al Ahqaf ayat 29-31.
وَإِذۡ
صَرَفۡنَآ إِلَيۡكَ نَفَرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَلَمَّا
حَضَرُوهُ قَالُوٓاْ أَنصِتُواْۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوۡاْ إِلَىٰ قَوۡمِهِم
مُّنذِرِينَ ٢٩ قَالُواْ يَٰقَوۡمَنَآ إِنَّا سَمِعۡنَا كِتَٰبًا أُنزِلَ مِنۢ
بَعۡدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّ
وَإِلَىٰ طَرِيقٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٣٠ يَٰقَوۡمَنَآ أَجِيبُواْ دَاعِيَ ٱللَّهِ
وَءَامِنُواْ بِهِۦ يَغۡفِرۡ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُجِرۡكُم مِّنۡ عَذَابٍ
أَلِيمٖ ٣١
Artinya : 29. Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan
serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka
menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan 30. Mereka berkata: "Hai kaum kami,
sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus 31. Hai kaum kami, terimalah (seruan)
orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.
Pelajaran
dari kisah teladan Rasulullah inilah, yang perlahan harus kita amalkan pada
diri kita sendiri. Jika ujian datang menghampirimu, berjedalah untuk
menerimanya dan memaafkannya. Dan tak lupa untuk memulangkan perasaan sedih
kita kepada Allah.
“Berjedalah,
untuk memahami bahwa disaat ujian datang, selalu ada kejutan hikmah yang
menyertai dibaliknya.”
0 $type={blogger}
Terimakasih sudah membaca, mohon beri komentar yang bijak dan sesuai dengan topik yang dibahas