Menolak Emosi, Sudah Benarkah Menata Hati?

by - July 10, 2020




"Sudahlah hal sepele jangan terlalu dipermasalahkan dek"  Mungkin itulah sinyal akhir yang bisa saya tangkap dari ekspresi lawan bicara setelah melalui obrolan yang panjang—tentu, hanya dalam imajinasi saya saja. Sebenarnya.. sudah berapa hari lamanya, saya tidak mengungkapkan emosi secara jelas langsung ke subjek tertentu, saya lebih memilih menyimpannya sendiri atau terkadang menuangkannya lewat tulisan. Merasa aman, dan menganggap bahwa diri saya sudah bisa menata hati dengan benar. Saya tidak tahu ternyata, apa yang saya perbuat adalah seseuatu yang keliru, yang mungkin saja bisa berubah sewaktu-waktu menjadi racun bagi tubuh saya.

Berawal dari rasa kecewa. Saya mengurungkan niat untuk bercerita, di satu sisi  tidak mau menambah beban pikiran, di sisi lain kehilangan mood untuk bercerita. Seiring bertambahnya usia, saya mengakui terdapat perubahan sudut pandang saya dalam bercerita. Saya memilih dan memilah apa yang akan saya ceritakan, termasuk juga tempat untuk bercerita.

Kecewa..tentu setiap orang pernah merasakannya. Adakah yang pernah merasakan kecewa, ketika kita sedang berbicara tidak ada yang menggubris obrolan kita--padahal kita sedang menyampaikan suatu yang penting. Adakah yang pernah merasakan kecewa, ketika tahu ada yang berjalan tidak sesuai keinginan kita. Ah rasanya kacau hati saya pada hari itu. Saya semakin tenggelam---mengaharap sebuah "pengakuan", ya sebenarnya saya hanya ingin diakui bahwa saya ada dan peduli--tetapi nyatanya ada saja yang tidak menghiraukan kehadiran saya.

Bersyukur dengan hadirnya kecewa yang saya rasakan beberapa waktu lalu, karena saya dapat menemukan diri ini "yang masih dapat merasakan sebuah emosi" . Merasa bersyukur walaupun disaat bersamaan ada  emosi lain yang datang merugikan saya.

Merayakan bahagia dengan syukur, dan memaknai kesedihan dengan hikmah dan kesabaran, (Taufik Aulia , penulis “Sabar dan Syukur Tanpa Tapi”)

Kekecewaan yang datang pada malam itu membawa hikmah yang membuat saya lebih bersyukur sekarang ini. Saya tidak sengaja menemukan tulisan yang menarik di kemudian hari, yang membuat diri ini bertanya-tanya sendiri. Apakah ini memang hikmahnya? Tulisan tersebut telah membuka wawasan saya agar bisa benar-benar menempatkan emosi saya dengan baik.

Kecewa yang saya rasakan adalah bagian dari bentuk emosi. Selama ini yang saya ketahui, emosi adalah bentuk ekspresi atau respon seseorang ketika dihadapkan oleh sebuah situasi. Saya semakin penasaran untuk mengenal lebih jauh suatu hal yang sebenarnya melekat dekat pada diri setiap orang, yaitu emosi.

Menuliskan ulang secara singkat dari penjelasan Ibu Agnes Sianipar, Ph.D (Pakar Neurosains Kognitif), emosi hadir karena dipengaruhi oleh pesan kimiawi, diantaranya neurotransmitter (pesan kimiawi yang diproduksi di otak dan akan bertugas untuk mengirim ke berbagai area otak) dan hormon (neurotransmitter yang memasuki pembuluh darah dan dikirim ke berbagai area tubuh).  Neurotransmitter yang dikenal sangat memengaruhi emosi kita adalah Dopamine dan Serotonin. Dopamine berperan dalam memunculkan rasa senang, sementara berkurangnya serotonin dalam tubuh kita akan memicu emosi sedih. Hormon yang secara umum memengaruhi emosi kita terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah hormone steroid diantaranya testosterone dan cortisol yang berperan dalam pembentukan emosi marah dan stress. Sementara, kategori kedua adalah hormone peptida diantaranya endorphin (memicu emosi senang) dan vassopresin >< oxcystocin (yang keduanya berkerjasama dalam memunculkan cinta dan kasih sayang).

Dalam studi psikologi, beberapa pakar telah mengemukakan teori terkait pembagian emosi. Pada tahun 1988, terdapat teori psikologi popular yang mendeskripsikan terkait emosi yaitu Robert Plutchik’s Wheels of Emotions. Plutchik membagi emosi menjadi delapan atau dikenal sebagai eight basic emotions diantaranya joy, trust, fear, surprise, sadness, anticipation, anger, dan disgust. Plutchick lalu membuat wheel of emotions sebagai deksripsi macam-macam emosi dan bentuk interaksinya.


Roda Plutchik merupakan representasi visual yang menggambarkan emosi kita dalam menampilkan dirinya. Emosi yang saling berhadapan adalah emosi yang bertolak belakang, seperti contohnya sadness (kesedihan) berhadapan dengan joy (kegembiraan). Diibaratkan sebagai sebuah jari-jari dalam roda, jari-jari yang semakin menedekati hub (pusat dari roda) merepresentasikan semakin meningkatnya emosi dasar yang kita rasakan. Plutchik juga menjelaskan bahwa pewarnaan dalam roda tersebut menggambarkan sebuah intensitas emosi, semakin gelap warna emosi semakin kuat intensitas emosi tersebut kita rasakan. Contohnya., pada satu jari-jari bentuk emosi dasar joy (kebahagiaan), kita sering merasakan serenity (ketenangan) ketika bahagia dibandingkan merasakan sebuah gairah yang besar (ecstacy).

Pada tahun 2011, Cambria, Livingstones, Hussain mengadopsi teori Robert Plutchik’s Wheels of Emotions  lalu mengembangkannya menjadi sebuah gagasan “The Houglass of Emotios”. Dalam gagasannya, mereka menyederhanakan delapan bentuk emosi dasar menjadi dua bentuk emosi, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi postif sering dikaitkan dengan kehadiran rasa nyaman, seperti senang, damai, tenang, ceria. Sebaliknya, emosi negatif bisa membuat kita tidak nyaman atau emosi yang mungkin timbul karena mendapat perbedaan norma, seperti halnya, kecewa, marah, sedih, kesepian.

Lalu, dimana letak 'racun' nya?

Racun yang saya anggap di tulisan ini bukanlah sekedar emosi negatif yang membuat diri kita tidak nyaman, melainkan perlakuan kita dalam menanggapi kehadiran emosi negatif. Penah tidak kalian mengatakan pada diri sendiri, “aku harus kuat, tidak boleh nangis  ; “aku tidak boleh marah” ; “aku tidak boleh kecewa” ; “harusnya aku gak marahnah inilah racunnya! Emosi diibaratkan sebagai sebuah air yang mengalir, ketika ia diterima keberadaannya maka ia akan pergi mengalir. Sementara jika air yang mengalir tersebut ditolak lalu kita sumbat dengan perkataan kita seperti diatas, maka jadilah air tersebut tidak mengalir dan membentuk sebuah bendungan yang menetap dan dalam.

Seseorang yang terjebak dalam emosi-emosi negatif membuat tubuhnya dengan mudah meningkatkan hormon stress (kortisol), menurunnya kemampuan kognitif dirinya dalam memecahkan masalah dengan proaktif dan juga dapat merusak pertahanan tubuh, membuat kita lebih rentan terhadap penyakit.

It’s not negative emotions that directly impact our health, but how we react and process them when they are truly present in our lives.

Ketika ditangani dengan baik, emosi negatif juga memiliki sisi yang baik untuk diri kita. Manfaaat emosi negatif sebenarnya telah tereksplorasi dalam beberapa penelitian sebelumnya. Seseorang yang sedang dilanda kesedihan, akan membuat dirinya lebih fokus untuk mencari tahu kesalahannya dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Emosi marah membuat kita belajar untuk merenungi perilaku yang tidak disukai orang, dan membuat kita terdorong untuk mencari skenario yang tepat dalam menciptakan hubungan sosial yang lebih nyaman dan damai. Hadirnya kecewa, membuat kita belajar untuk bangkit dan kembali mencoba. Hadirnya kecemasan membuat kita terdorong untuk mencari solusi yang cepat dan membuat diri kita siap bertindak. Jika memang ingin merasakan manfaat dari emosi negatif, maka.. tentu, kita perlu menerima keberadaan emosi negatif lebih dulu!

Kamu nggak bisa mengharuskan perasaan. Harus nggak sedih, harus bahagia, harus memaafkan, kamu sadarkah kata-kata tadi tidak membuatmu merasa bahagia, ikhlas, dan tenang? Sebaliknya, perasaan tadi malah dibumbui dengan rasa bersalah bukan? Karena kenyataannya, perasaan tidak bisa diharuskan. Perasaan tidak punya saklar on/off, yang bisa kita nyalakan begitu kita butuhkan dan matikan ketika kita tidak perlu lagi. Satu-satunya jalan adalah ke dalam. Untuk berjalan melalui perasaan, kita perlu memahami dan menerima perasaan yang hadir, dia cuma mampir. This too shall pass. Nggak ada yang harus kamu rasakan. Semua perasaan boleh kamu rasakan. Semua perasaan boleh kamu rasakan (dr. Jiemi Ardian, Psychiater)

Referensi :


You May Also Like

4 $type={blogger}

  1. memang menahan emosi itu godaannya banyak, kalo udah emosi mending diem, hehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo kak kyndaerim (?)👋 terimakasih sudah mampir ke blog saya dan membaca artikel ini☺🙏

      Diam itu emas ya kak ☺ semoga dari diam kita itu, kita juga bisa menerima kehadiran emosi negatif itu sendiri ya kak..jd dari memilih diam, kita gak serta merta menumpuk stress yang berbahaya kesehatan kita nantinya ☺

      Delete
  2. Sebel banget kalau lagi cerita tapi temen malah mengabaikan😑 tapi ya udah lah, laik kali diem aja.

    Segala sesuatu pasti ada dampak positifnya ya. Bahkan emosi negatif pun ternyata membawa dampak positif juga. Asal kita sadar dan mau instropeksi diri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo kak astria👋 terimakasih sudah mampir ke blog saya ☺🙏

      Wa kakak, kita sama nih..pasti ada rasa sebel ya kak ketika kita lagi cerita tetapi ada saja temen yang cuekin😅 saya tahu betul perasaannya kak, karena hal itu..saya jadi suka ambil sisi positifnya kak "mungkin teman kita ini lagi sibuk jadi gak fokus sama apa yang kita ceritakan" atau prasangka baik lainnya, selama ini cara tersebut ampuh menurut saya pribadi kak buat nenangin diri biar gak nambah emosi negatif lainnya juga😅 nah ini juga yang saya rasakan akhir-akhir kak, kalau mau bercerita jadi mikir-mikir dulu ke orang lain eh malah ujungnya memilih diam😅, tetapi yang perlu diingat, perlakukan diam kita itu sebagai benar-benar emas yang bisa menguntungkan bagi diri kita sendiri juga ya kak, dari diam kita bisa juga lho kak bilang ke diri sendiri untuk berlapang dada menerima emosi negatif itu hadir "its okay to not be okay, ambil hikmahnya ya" Semoga kedepannya kita bisa menempatkan emosi kita lebih baik lagi ya kak☺

      Bener sekali kak, tidak selamanya yang buruk membawa hal buruk juga.. Mungkin dari hal buruk tersebut tersimpan hikmah yang menguntungkan bagi kita kedepannya☺

      Delete


Terimakasih sudah membaca, mohon beri komentar yang bijak dan sesuai dengan topik yang dibahas